Rabu, 08 Agustus 2012

Bahkan Bidadari pun Cemburu
Karenanya ~
Dia yang tak pernah lepas dari
sholat
malam, tilawah, dan ma’tsurat pagi
petang, lalu sangat mendadak
dipanggil
tanpa tanda, dengan ucapan akhir
ketauhidan.
Dia yang menghabiskan hari-harinya
untuk dakwah, hingga semalam jam
23.00
masih di luar rumah untuk dakwah.
Dia yang hampir tidak pernah
menolak
jika dimintai bantuan, selalu ringan
tangan membantu sesiapa.
Dia yang di akhir-akhir hidupnya
selalu
berdoa sangat panjang di tiap usai
sholat, hingga pernah ditanya
kawan,”Kenapa?’
Dia yang setiap pergi kemana pun
menyempatkan berhenti sejenak,
hatta
untuk sholat dhuha, “berhenti dulu
ya
teh,.. kita dhuha dulu”
Dia yang sebentar lagi akan
meminang
seorang muslimah, ternyata memilih
menjemput bidadari surga.
Saat melihat teduh wajahnya dalam
jasadnya yang terbujur kaku,
mataku
pun membasah. Betapa aku iri
melihatnya,
meskipun aku tak mengenalnya
dengan
baik. Hanya lewat cerita sekilas-
sekilas
dari kakaknya, Yuli, yang setiap
pekan
datang mengaji ke rumahku. Abduh
yang
juga sering mengantarkan Yuli
kesana
kemari, cukup kuhafal wajahnya,
meski
aku belum pernah berbicara
dengannya.
Tapi aku tahu, dia, Abduh, adalah
orang
yang baik.
Maka, tak salah jika salah satu
sahabatnya pun, bercerita dengan
pilu,
tentang kesehaerian Abduh, juga
tentang
detik-detik terakhirnya. Pak Lutfi,
tetangga Abduh, yang juga sesama
orang
tua murid dari anak-anak kami,
bercerita:
* * *
20 Maret 2012 pukul 03.30 dini hari.
Saat
itu aku sudah terjaga, dan sedang
mengerjakan sesuatu yang
sementara
ini
menjadi jalan ma’isyahku di depan
laptopku. Sebelumnya aku
menyempatkan
diri untuk shalat malam beberapa
rakaat
saja. Aku bekerja di atas tempat
tidur
ditemani isteriku yg sedang
berbaring
di
sebelahku sambil menjaga anak
bungsuku
dari ‘serangan’ nyamuk.
Tiba-tiba terdengar dering esia
istriku.
Isteriku meraih esia-nya dan
menjawab
salam dari seberang telepon.
Mendengar
permulaan dialog, aku segera
mengenali
bahwa yang menelepon adalah
mbak
Yuli.
Aku memang selalu memanggil
akhwat
yang sudah dewasa, yang sebaya dan
dibawah usiaku, dengan
menambahkan
panggilan ‘mbak’ di depan namanya,
tidak
lain untuk rasa hormat dan
penghargaan kepada seorang
perempuan.
Isteriku memanggil mbak Yuli
dengan
sebutan ‘teteh’ tanpa nama di
depannya –
jadi seperti adik memanggil kepada
kakaknya. Sementara mbak Yuli
memanggil isteriku dengan sebutan
Bunda,
panggilan anak-anakku pada
isteriku.
Usianyasebaya dengan isteriku,
tetapi
karena ikatan persaudaraan yang
sangat
erat, mereka saling memanggil
dengan
panggilan keakraban dan kasih
sayang.
Tiba-tiba isteriku sedikit terkejut,
“Kenapa
Abduh teh..?”
Aku tidak lagi mendengar sahutan
dari
mbak Yuli di seberang telepon,
tetapi
yang jelas setelahnya isteriku
meminta
tolong untuk segera diantarkan
berangkat ke rumah Yuli dan
keluarganya. Aku segera bergegas,
menghentikan pekerjaanku dan
membawa
apa yg kuingat untuk dibawa.
Aku dan isteri segera berkendara
menuju
rumah Yuli di Villa Pamulang.
Sambil
bertanya-tanya dalam hati.. “Ada
apa
sebenarnya? Apa yang terjadi
dengan
Abduh?”
Aku karena panik malah sempat
lupa
mengarahkan motor kemana arah
rumah
mbak Yuli.
Sedang dalam perjalanan, esia-pun
berdering lagi. Isteriku menjawab
sambil
memandu memberi pertolongan
pertama
sebatas pengetahuan isteriku.
Kebetulan,
isteriku pernah bekerja di sebuah
klinik
kesehatan alternatif, jadi sedikit
banyak
tahu beberapa hal tentang tindakan
pertolongan pertama. Lalu
berdering
lagi,
mbak Yuli menanyakan, “Sudah
sampai
dimana?”
“Sudah dekat”, jawab isteriku,
“Sudah
di
mesjid teh..” lanjutnya.
Sedikit panik, aku pun mempercepat
laju
motor dan saat tiba, mbak Yuli
sudah
menunggu di mulut blok Villa di
mana
rumahnya berada.
Aku dan isteri segera masuk ke
kamar
di mana Abduh tidur. Terlihat dia
sedang
(seperti) tidur. Isteriku langsung
memeriksa denyut nadi di
pergelangan
tangannya. Kemudian memeriksa
denyut di
lehernya. Tiba-tiba isteriku
menangis.
“Bagaimana Bunda..?”, tanyaku.
“Denyut nadinya tidak teraba
ayah..”
Aku pun memegang badannya,
masih
terasa hangat dan berkeringat.
Berharap masih bernyawa dan
mendapat
pertolongan, segera dini hari itu aku
meminta pada Iqbal, adik mbak Yuli,
kakaknya Abduh, untuk segera
membawa
ke rumah sakit terdekat. Yang
paling
dekat adalah RS Sari Asih. Dengan
motor
aku mendahului mereka menuju RS
Sari
Asih. Meminta pada security
perumahan
membuka portal. Dan sesampai di
rumah
sakit segera meminta pada petugas
mempersiapkan kamar darurat.
Semua
keluarga, mbak Yuli, Iqbal dan
Mama
bersama ke rumah sakit. Isteriku
tinggal
di rumah menjaga dua anak kecil
mbak
Yuli yang masih terlelap.
Sesampainya dalam kamar di ruang
darurat (IGD), dilakukan tindakan
dengan
membuat nafas bantuan dan
menekan
rongga dadanya. Dan ternyata
Abduh
memang sudah meninggal sejak di
rumah,
di tempat tidurnya. Innalillahi
wainna
ilaihi rooji’un.
Menurut Iqbal, sekitar lewat jam
tiga
itu, dia terbangun oleh deringan
jam.
Dan
ketika terbangun sekonyong-
konyong
melihat Abduh sedikit kejang. Bola
matanya mengarah ke atas sebentar
lalu
ke arah bawah kembali. Iqbal dan
mbak
Yuli segera mencoba
membangunkan,
tapi
tidak bangun juga, hingga akhirnya
menghubungi kami.
Baru setelahnya kami menyadari,
bahwa
saat itu-lah Izrail sebenarnya sedang
mencabut nyawanya. Mencabutnya
adalah
pada saat-saat Abduh terbiasa
bangun
pada jam itu untuk shalat malam.
Dan memang ketika malam itu
Abduh
pulang ke rumah hampir jam 12
malam,
sebelum beranjak istirahat, terlebih
dahulu sempat berpesan pada
Ibunya
untuk dibangunkan jam tiga guna
shalat
malam. Sang ibu-pun mengiyakan.
Karena
kasih sayang ibu, sang ibu berniat
membangunkan sedikit lewat dari
jam
tiga untuk memberi waktu agak
lama
untuk Abduh beristirahat, karena
pulangnya juga sudah larut.
Ternyata Allah SWT menentukan
lain.
Jam
dimana Abduh terbiasa terbangun
untuk
shalat malam menghadap Rabb-nya,
saat
itu ternyata menjadi saat di mana
dia
menghadap Rabb-nya lebih dekat..
lebih
dekat dari biasanya.
Mbak Yuli memang tegar. Walaupun
ada
kesedihan di hati, tidak terdengar
tangisnya. Bicaranya pun terlihat
sangat
tenang. Aku tahu, hal itu karena dia
harus menenangkan ibunya setelah
sebelumnya memberitahu tentang
meninggalnya Abduh. Setelah
berkoordinasi
secara kilat tentang dipulangkan
kemana
jenazah almarhum, akhirnya diambil
keputusan untuk disemayamkan di
komplek Peruri, tempat tinggal
saudaranya. Tempat yang juga
sudah
menjadi tempat tinggal bagi mereka.
Saat itu baru saja subuh. Dengan
sisa
sedikit pulsa, aku memberitahu
isteri
dan
meminta pada isteriku untuk
menghubungi dua orang teman di
markas
untuk datang di rumah duka di
Peruri,
agar bisa mempersiapkan segala
sesuatunya bersama keluarga di
Peruri.
Pak Kusnadi menunggu kedatangan
jenazah, berkoordinasi dengan
keluarga
sambil memberitakan duka ini
kepada
lainnya. Pak Mukhlis segera
menghubungi
Amil dan membeli bahan-bahan
yang
diperlukan dalam penyelenggaraan
jenazah.
Aku sendiri kembali ke rumah mbak
Yuli
di Villa Pamulang untuk menjemput
isteriku dan anak-anak mbak Yuli.
Menyiapkan pakaian ganti dan
semua
perlengkapan yang kira-kira
diperlukan
untuk mbak Yuli, Iqbal, anak-anak
dan
ibunya untuk dibawa ke Peruri.
Bersamaan dengan kedatanganku di
rumah
mbak Yuli, saat itu datang juga Eka,
seorang teman dari markas juga.
Eka
memang diminta datang oleh
isteriku
subuh itu juga, karena isteriku
mengira
aku langsung ke Peruri dan tidak
menjemputnya.
Sesampainya dekat rumah sakit,
ternyata
mbak Yuli dan keluarga masih
berada
di
sana. Akhirnya kami tidak langsung
ke
Peruri, dan segera masuk ke
halaman
rumah sakit. Akhirnya ambulance
yang
membawa jenazah almarhum-pun
siap
berangkat. Anak-anak bersama ibu,
Iqbal
dan Eka bersama mobil menuju
Peruri.
Mbak Yuli dan isteriku ke Peruri
dengan
Ambulance. Aku sendiri pergi
dengan
motor. Karena kunci motor terbawa
isteri, aku berkendara dengan
motor
Eka.
Untungnya, kunci motornya belum
kuserahkan padanya saat tiba di
rumah
sakit, karena untuk naik angkutan
umum, sepeser uang-pun tidak
terbawa
olehku karena begitu bergegasnya,
sehingga terlupakan.
Tiba di Peruri, aku menunggu
bersama
pak Kusnadi. Ketika jenazah
almarhum
tiba, pecahlah tangis sanak saudara.
Tetangga dan teman yang
berdatangan-
pun terlihat berduka, nampak
terkejut
dan tidak percaya. Usianya baru 27
tahun. Tidak sakit apapun. Tidak
ada
riwayat sakit jantung, bahkan dari
riwayat keluarganya sekalipun.
Bahkan
malam itu, sebelum tiba di Villa
pamulang, Abduh menyempatkan
diri
ke
Peruri, karena memang juga sudah
menjadi tempat tinggalnya sejak
lama.
Sempat berbincang-bincang dan
shalat
Isya’ berjamaah di masjid Al-Ikhwan
di
depan rumahnya. Sampai jam 23
malam
masih menyempatkan diri
membantu
salah
seorang ikhwah menyelesaikan
sebuah
tugas, sebelum akhirnya pergi
pulang.
Silih berganti warga dan kerabat
berdatangan untuk takziah. Aku
melihat
kedatangan mereka sambil
mengenalinya di
hati. Tentu saja, sangat banyak dari
mereka yang merasa ditinggal.
Abduh
yang dikenalinya selama ini adalah
orang
yang mudah dimintai tolong.
Hampir
tidak
pernah mengelak ketika diminta
bantuan.
Selalu bersikap baik dengan semua
orang.
Tidak pernah membicarakan aib
orang
lain. Ketika bercanda, hanya
seperlunya
dan sewajarnya. Tidak pernah
melibatkan
diri dalam perdebatan yg dapat
menimbulkan permusuhan. Kami-
pun
di
markas, juga mengenali beliau
sebagai
kader yang selalu siaga ditempatkan
dimana saja. Mungkin Abduh bukan
siapa-
siapa dalam struktur jamaah
dakwah
ini. Tetapi tanpa keterlibatannya,
bisa
jadi
agak terasa kesulitan dalam
merealisasikan agenda. Oleh
karenanya,
biasanya dalam kepanitiaan biasa
dimasukkan dalam seksi pembantu
umum
ataupun akomodasi dan
transportasi.
Aku dan keluarga seringkali juga
meminta beliau mendampingi dan
mengantar kami menjenguk anak
pertama
kami di sebuah boarding school di
Subang.
Sehingga, kami memiliki kesan yang
mendalam tentangnya.
Bila waktunya mengantar kami ke
Subang, selalu dia menyempatkan
berhenti
di rest area. Aku tahu, hal itu tidak
dilakukan untuk semata-mata
mengisi
bahan bakar, tetapi alasan
sebenarnya
adalah agar bisa terlebih dulu
menjalankan shalat dhuha. Aku
memang
selalu meminta diantar pagi-pagi
hari,
agar masih terbilang pagi saat
sampai
di
Subang. Saat-saat menunggu kami
sekeluarga-pun, tidak terlepas
dengan
mushaf yang selalu dibawanya.
Sepanjang pengetahuanku, aku
mengenalinya sebagai orang yang
selalu
menjaga dhuha, shalat malam, al-
ma’tsurat dan tilawahnya. Kami juga
mengenalinya sebagai orang yang
sayang
dan hormat dengan kakak dan
saudara-
saudaranya. Selalu mengiyakan
nasehat
kakaknya. Terlebih kepada ibunya.
Bahkan
suatu ketika, ketika terasa sakit dan
tidak merasa kuat untuk
meneruskan
puasa ayyamul bidh-nya, Abduh
masih
menyempatkan diri menghubungi
ibunya
meminta ijin lebih dulu untuk
berbuka
dan membatalkan puasanya.
Sambil mengenali satu-persatu
kerabat
yang datang takziah, begitulan
kesan
dan
kabar kebaikan Abduh ‘bercerita’
dalam
pikiran dan hatiku. Sampai akhirnya
mataku teralihkan oleh kedatangan
akhwat. Berdua. Yang satu berusia
paruh
baya. Yang satu masih muda dan
cantik.
Akhwat ini menangis. Sempat tidak
kuasa
melangkah mendekati jenazah
almarhum.
Akhwat yang satu yang rupanya
adalah
murabbinya, mengajaknya untuk
mendekat
dan melihat. Semakin pecah
tangisnya.
Aku
bertanya-tanya, “Ini siapa..? Kenapa
terlihat begitu sedih dan
terpukul..?”
Sedari tadi, kesedihan di hati hanya
membuat mataku sesekali berkaca-
kaca.
Kaca itu semakin menebal ketika
kemudian
aku mengetahui bahwa akhwat ini
adalah
calon yang rencananya menjadi
pendamping
hidup almarhum. Dan akhirnya,
bendungan
itu tidak bisa kutahan lagi. Air
mataku
mulai menyudut dan mengalir, saat
melihat drama sang akhwat
menangis
tersedu-sedu sambil berpelukan
dengan
mbak Yuli, kakak Abduh.
Berpelukan
sangat erat dan lama. Erat dan lama.
Eratt sekali. Lamma sekali.
Dan aku memandangi adegan itu.
Rupanya,
almarhum sedang menjalani proses
ta’aruf dengan akhwat tersebut, dan
sedang berlanjut dalam proses
khitbah.
Dari Murabbinya Abduh, aku
mengetahui
ternyata Abduh sudah yang ke
empat
kalinya menjalani proses ta’aruf.
Bahkan
dari kakaknya, mbak Yuli, kami
mengetahui dan pernah diminta
bantuannya
saat beranjak akan berangkat
meminang
dan akhirnya tiba-tiba batal justru
sehari dari rencana datang
meminang
akhwat tersebut (pada proses
sebelumnya). Sampai saat ini aku
belum
mengerti alasan akhwat itu tiba-tiba
membatalkannya. Dan dengan
akhwat
yang
sekarang, adalah proses ta’aruf yang
keempat, setelah tiga sebelumnya
gagal.
Sekilas, mengenal akhwat yang
sebelumnya tidak saya kenali
tersebut,
memang terlihat pantas sebenarnya
jika
pada akhirnya berjodoh. Kecantikan
yang
sempurna dan terlihat shalihah.
Tapi rupanya Allah SWT lebih
menyukai
almarhum. Semoga akhwat ini
mendapat
ganti yang sepadan atau bahkan
mungkin
yang lebih baik, dan mudah-
mudahan
menjadi hikmah yang sangat besar
baginya bahwa jodoh hanya di
tangan
Yang Maha Kuasa, bukan di tangan
kita.
Dan semoga menjadi ujian yang
kesabaran
dan keikhlasannya menjadikan
akhwat
ini
menjadi penghuni surga.
(Ya, sempat kujabat dan kupeluk
akhwat
itu. Mengajaknya bicara pelan-pelan,
meski kami baru kenal. Sangat
kupahami
rasa terpukul dan sedihnya, karena
proses pernikahan, ah, tepatnya
proses
khitbah yang sebentar lagi, harus
batal,
bukan karena digagalkan, tapi
karena
calon mempelai laki-laki mendadak
meninggal. Rabbi.. terbayang perih
rasanya. Kuusap bahunya pelan, dan
kusarankan agar ia membaca Qur’an
dengan perlahan, agar hatinya lebih
tenang-red)
Saat aku mengantarkan jenazah dari
rumah sakit menuju rumah duka,
mbak
Yuli sempat bercerita kepada
isteriku
hikmah di balik gagalnya proses
ta’aruf
adiknya. Mbak Yuli merasa,
mungkin ini
adalah hikmah di balik semua
kegagalan
itu. Dan dalam tangisnya yang
akhirnya
pecah saat di ambulance bersama
isteriku, mbak Yuli mengakhiri
curahan
hatinya dengan harapan dan merasa
yakin
sekali bahwa memang Abduh hanya
untuk
bidadari di surga, bukan untuk yang
lainnya.
Aku sendiri berdoa di akhir tulisan
ini,
walaupun Abduh terpaut cukup jauh
usianya di bawahku. Aku memohon
kepada
Allah SWT agar diberi kemampuan
dan
kesempatan meneladani seluruh
kebaikan
Abduh. Bagaimana mungkin aku
tidak
butuh meminta seperti itu,
sedangkan
bidadari di surga-pun cemburu
karenanya..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar